Sebuah rumah tangga, akan seperti sebuah taman yang indah ketika para penghuninya menjadi bunga yang berbau harum dan berseri. Layaknya bunga di taman, pastilah keindahan akan selalu hadir dan tampak sebagai hiasan hidup. Bertolak dari sini, ada sebuah kisah dari penghuni rumah yakni seorang istri yang bijaksana dan selalu berupaya memahami sifat dan keinginan suaminya…..
"Berkata sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup
bersama, belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat
membuatku marah.”
Maka berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi.”
Berkata sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku,
aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka
ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’
Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas
Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu,
maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan
melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan
meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan
aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’”
Berkata sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku
untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala
puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan
keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila
engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan
jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti
untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan
itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang
engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’
Istriku berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’
Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung).
Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung).
Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk
masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau
tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’
Aku katakan: ‘Bani Fulan yang sebelah situ adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan yang sebelah sana adalah kaum yang jelek.’”
Berkata sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang
paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam
keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai.
Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat
kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku
berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’”
Aku jawab: “Ia sebaik-baik istri.”
Ibu mertuaku berkata: “Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang
dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada
istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya
sesuai dengan kehendakmu.”
Berkata sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh
tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali
sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya.”
Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku (penulis kisah, red)
tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan
yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang
diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang
dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa
yang Dia kehendaki.
(Dikutip sebagian dari buku berjudul “Rumah Tangga Tanpa Problema;
bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan Keluarga Bahagia tanpa
Problema”, karya Mazin bin Abdul Karim Al Farihhal. 59-82. Penerjemah:
Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah. Penerbit:
Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H, dicopy dari
http://akhwat.web.id) Kisah dari Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi
Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman
Al Khasyat, hal. 28-29)